Nikmat Waktu dalam Pandangan Seorang Muslim
Jika orang-orang barat mengatakan bahwa ‘Time is Money’ atau ‘Waktu adalah Uang’, maka bagi seorang muslim waktu lebih mulia dan lebih berharga dari itu. Bagi seorang muslim “waktu adalah pahala”, waktu adalah rezeki yang Allah limpahkan kepada kita, waktu adalah kesempatan yang Allah berikan kepada seorang hamba untuk membekali dirinya dengan ketaatan. Dan seorang hamba tidak akan menyadari betapa berharganya waktu yang ia miliki dan betapa agungnya nikmat waktu tersebut, kecuali jika ia telah benar-benar mengetahui terlebih dahulu hakikat waktu dan kedudukannya di dalam kehidupan ini.
Dalam artikel kali ini, mari lebih mengenal hakikat waktu yang telah Allah berikan kepada kita ini, sehingga kita semua semakin bersemangat di dalam memanfaatkannya dan memaksimalkannya.
Hakikat waktu bagi seorang muslim
Berbicara tentang hakikat “waktu”, maka sejatinya ia adalah umur manusia dan masa hidupnya. Tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, semuanya merupakan modal investasi yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di kehidupan dunia ini. Mengapa demikian? Karena tidaklah satu hari berlalu dari kehidupan kita, kecuali umur kita pun ikut berkurang.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan tentang hakikat waktu ini,
“Waktu seseorang hakikatnya adalah umur kehidupannya. Dan itu akan menjadi modal serta kesempatan untuk meraih kehidupan abadinya dalam kebahagiaan abadi, atau menjadi sebab keberadaannya yang menyedihkan dalam siksa yang pedih.
Dan waktu berlalu seperti awan. Jika waktunya tersebut dia habiskan untuk Allah dan di sisi Allah, maka itulah (hakikat) kehidupan yang sebenarnya. Dan jika untuk selain itu, maka tidak dihitung sebagai bagian dari hidupnya, sekalipun dia menjalani kehidupannya seperti hewan ternak (hanya makan, minum, dan tidur saja).
Dan jika dia habiskan waktunya untuk melakukan sesuatu yang sia-sia dan melalaikan serta dipenuhi dengan harapan-harapan palsu, dan cara terbaik yang bisa dia lakukan untuk melewatinya hanyalah dengan tidur dan bermalas-malasan saja, maka matinya orang tersebut lebih baik dari pada hidupnya.” (Al-Jawab Al-Kafi)
Ketahuilah, bahwa waktu kosong dan senggang yang sering kita rasakan, pada kenyataannya adalah kesempatan yang bisa saja diisi dengan kebaikan ataupun keburukan. Disadari ataupun tidak, tidak ada satu momen pun yang berlalu dalam hidup kita, kecuali pasti ada aktifitas dan kesibukan yang kita kerjakan. Maka dari itu, berusahalah untuk menjadikan waktu yang kita miliki sebagai tabungan dan investasi amal kebaikan yang akan menjadi bekal kita ketika bertemu dengan Allah Ta’ala.
Waktu: Nikmat yang harus dipertanggungjawabkan
Umur yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, siang dan malam yang silih berganti datang kepada kita, nyawa yang terkandung dalam badan kita, semua itu sejatinya adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada kita. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ * وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
“Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan malam dan siang bagimu. Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 33-34)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur.” (QS. Al-Furqan: 62)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ
“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6412)
Layaknya kenikmatan lainnya yang wajib disyukuri dan dipertanggungjawabkan oleh seorang hamba, nikmat waktu dan umur juga harus disyukuri dan akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
لا تَزولُ قَدَمَا عبدٍ حتى يُسأَلَ عن عُمُرِه فيمَ أفناهُ؟ وعن عِلمِه فيمَ فَعَلَ فيه؟ وعن مالِهِ من أين اكتسَبَهُ؟ وفيم أنفَقَهُ؟ وعن جِسمِه فيمَ أبلاهُ
“Dua kaki seorang hamba tidak akan bergerak (pada hari kiamat) sehingga dia ditanya tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang ilmunya apakah yang telah dilakukan dengannya, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan, dan tentang badannya untuk apa digunakannya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Ad-Darimi no. 537 dan Abu Ya’la no. 7434)
Baca juga: Untuk Apa Waktumu?
Waktu adalah pahala bagi seorang muslim
Dalam agama Islam, waktu memiliki kedudukan yang sangat penting dan tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Tidaklah seorang hamba melewati sebuah hari, jam demi jamnya, menit demi menitnya, kecuali di dalamnya terdapat peluang untuk mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala telah mengatur waktu seorang muslim dengan sedemikian rupanya. Dari ia bangun tidur di pagi hari hingga ia tidur kembali, ada ibadah dan amal saleh yang bisa diamalkan dan dipraktikkan setiap detiknya. Saat seorang hamba bangun tidur lalu mengambil air wudu dan melaksanakan salat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)
Jika keutamaan salat sunah fajar saja demikian besarnya, lalu bagaimana dengan keutamaan salat Subuh itu sendiri?!
Saat matahari telah beranjak naik, seorang ayah keluar untuk mencari nafkah bagi keluarganya, maka ini juga bernilai pahala baginya apabila diniatkan ikhlas mengharap rida Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi).” (HR. Muslim no. 995)
Di siang hari saat ia makan siang lalu bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang telah diberikan kepadanya, maka ini juga bernilai pahala baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
الطاعمُ الشَّاكرُ بمنزلةِ الصائمِ الصابرِ
“Orang makan yang bersyukur, kedudukannya seperti halnya orang berpuasa yang bersabar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2486, Ibnu Majah no. 1764 dan Ahmad no. 7793)
Belum lagi salat lima waktu yang dikerjakannya, zikir-zikir yang dilantunkannya, perbuatan baik dan budi pekerti mulia yang menghiasi dirinya, semua itu jika dijalankan dengan niat menaati Allah dan Rasulnya, maka juga dinilai sebagai ibadah oleh Allah Taala.
Jangan menunda-nunda dalam beramal!
Seorang mukmin harus memanfaatkan seluruh waktu dan umur yang dimilikinya untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Tidak menunggu esok hari untuk melakukan sebuah ketaatan dan amal saleh. Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk memaksimalkan waktu yang kita miliki dan tidak menunda-nunda dalam berbuat baik. Ia berfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ
“Maka, apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Al-Insyirah: 7)
Lihatlah juga bagaimana para pendahulu kita di dalam mengatur dan memaksimalkan waktu yang mereka miliki. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan,
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْئٍ نَدْمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ فِيْهِ أَجَلِيْ وَلَمْ يَزِدْ فِيْهِ عَمَلِيْ
“Aku tidak pernah memiliki penyesalan yang demikian mendalam dibandingkan dengan penyesalanku akan berlalunya satu hari yang amalku tidak bertambah pada hari itu padahal ajalku semakin berkurang.” (Qimah Az-Zaman ‘Inda Al-Ulama, hal. 47)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Madariju As-Salikin” menyebutkan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah,
صحبتُ الصُّوفيّة، فما انتفعتُ منهم إلّا بكلمتين. سمعتهم يقولون: الوقت سَيفٌ، فإن قطعتَه وإلّا قطَعَك. ونفسك إن لم تَشْغَلْها بالحقِّ شَغَلَتْك بالباطل
“Aku berteman dengan kaum sufi. Namun, aku tidak mendapatkan manfaat darinya, kecuali dua kata yang aku dengar darinya. Mereka mengatakan, ‘Waktu adalah pedang. Oleh karena itu, kamu harus menggunakannya dan memanfaatkannya. Jika tidak, maka ia yang justru akan memotong kamu dan dirimu. Dan dirimu jiwamu, jika kamu tidak sibukkan untuk kebaikan, maka ia justru yang akan disibukkan untuk kebatilan.” (Madariju As-Salikin, 3:546)
Wallahu A’lam bis-shawab.
Baca juga: Hukum Mencela Waktu (Masa)
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/88853-nikmat-waktu-dalam-pandangan-seorang-muslim.html